SPIRITUALISME

Dialog lintas agama, kepercayaan dan keyakinan.

Ambyar Karena Corona

ambyarAdakah yang masih ingat fenomana tanaman Jemani? Tanaman yang sempat bikin heboh, gara-gara satu helai daun bisa dihargai lima puluh ribu hingga jutaan rupiah? Setelah jagad Jawa digegerkan dengan merebaknya tanaman Jemani, kemudian disusul dengan batu akik. Batu akik yang dulunya cuma dihargai uang puluhan ribu rupiah, kemudian melejit hingga ratusan ribu rupiah. Sekarang tiba-tiba kita dihebohkan lagu “Ambyar”  yang dinyanyikan Didi Kempot. Lagu yang diciptakan oleh “The Godfather of Broken Heart” itu bukan sekedar lagu biasa tapi mengandung sasmita yang gawat.

Ada apa di balik itu semua? Mari kita mundur ke beberapa tahun yang lalu ketika kita dihebohkan dengan munculnya lagu “Anoman Obong” yang kebetulan penciptanya Mbah Ranto Edi Gudel, ayahanda Didi Kempot.  Dan Indonesia benar-benar membara, kobong alias terbakar. Sekarang entah kebetulan atau tidak lagu “Ambyar” membuat kita betul-betul ambyar dengan munculnya virus corona.

Saya agak kaget, biasanya dalam cerita wayang kalau ada goro-goro, para Punokawan, yang terdiri dari tokoh Semar-Gareng-Petruk-Bagong, muncul sambil jejogetan. Setelah joget, baru ada goro-goro. Plot cerita kali ini agak terbalik.  Punokawan muncul jejogetan sambil nangis, setelah itu  baru muncul goro-goro, yaitu virus corona.

Jawah polah bantala tan kesti, jawah wus tan dhawah, ganti rupi pedhut padhit, kendel mendel sesek sesak.

Mrayang tanpo kocap gepokaning budi, estining menungsa, suwung blung wong kothong jati, tangeh panggiha raharja

Maksiat akeh kang teka, bebendune Pangeran andatengi, gumludug swaraning gunung merapi udan brama, gonjang ganjing bumi belah gunung guntur, angin deres lindu prapto, udan awu andatengi. Saya miris tekaning pagebluh saka bumi sipit netrane.

Karepe wong murka samya, bocah cilik wis podho karem duwit, larang barang kang tinuku, wong tani katah rusak, anenandhur datan ana ingkang metu, sabab nagri sampun rengka, tan mikir susahing dasih.

Tulisan pendek di atas menegaskan local wisdom yang berkembang di Tanah Jawa, yaitu “Ilmu Titen.” Ilmu titen sudah ada sejak jaman kerajaan Majapahit sampai Mataram. Ilmu titen sangat berperan penting pada keseharian orang Jawa. Ketika jaman sudah berkembang, teknologi marak, logika diutamakan. Kini, ilmu titen dilupakan. Tak jarang masyarakat menganggap ilmu titen sebagai ramalan, malah sebagaian besar dari mereka menganggapnya sebagai mitos belaka.

Anggapan seperti itu muncul dikarenakan ketidaktahuan mereka tentang sebab-sebab terjadinya ilmu titen. C. A. Van Peursen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan” membahas tentang mitos. Dia mengatakan  bahwa mitos hadir dalam masyarakat lantaran ketidakmampuan akal manusia dalam merasionalkan sebuah realitas yang ada. Betulkah demikian?

Namun, realitanya masyarakat jaman dulu menyakini ilmu titen itu berdasarkan pengamatan mereka pada kejadian-kejadian yang berulang kali terjadi, atau memahami tanda-tanda alam, bukan berdasarkan penalaran ilmiah. Karena menurut mereka, kejadian-kejadian yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi itu telah diisyaratkan oleh tanda-tanda alam.

Kehilangan kepekaan tentang tanda-tanda alam, adalah sebuah kemunduran. Itu artinya, kita hanya mengandalkan 12% kemampuan otak yang lebih banyak bekerja di alam sadar/logis/conscius. Sisanya 88% adalah alam bawah sadar/subconscius yang tersembunyi dan tak dimanfaatkan.